Sabtu, 19 Januari 2008

PERSPEKTIF GENDER DALAM ISLAM


Perspektif Gender dalam Islam

Selama ini, sebagian masyarakat kita memiliki persepsi, bahwa masalah gender adalah produk Barat yang terus-menerus dihembuskan ke dunia Timur. Karena berbau Barat, maka mereka masih alergi untuk menanggapi, bahkan mereka enggan menerimanya. Mereka menganggap, dunia Barat dan Timur mempunyai nilai-nilai yang berbeda, yang tidak mungkin ada titik temunya.

Namun, kiranya kurang tepat kalau kita bersikap apriori, alergi, dan menolak apa yang datang dari Barat, termasuk mengenai masalah gender. Yang terbaik buat kita bukan menolak isu itu. Isu gender itu ibarat teko kosong yang dapat kita isi dengan apa saja yang kita miliki. Kita diberi kebebasan untuk mengisinya. Tentu saja, kita tidak mau mengisi isu gender itu dengan isian yang tidak tepat dengan pandangan yang Islami. Artinya, tugas kita sekarang adalah bagaimana mengisi isu ini dengan hal-hal yang Islami. Bukankah Islam adalah agama terbuka, yang dapat mewarnai sesuatu, termasuk masalah gender, dengan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran. Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan gender?

Secara singkat, gender adalah perbedaan laki-laki dan perempuan di luar sifatnya yang biologis. Secara sosial, baik peran maupun fungsinya di dalam masyarakat, laki-laki dan perempuan menempati posisinya yang sama. Kalau misalnya seorang perempuan mengajukan cuti hamil, melahirkan atau haid, lalu kemudian dikabulkan oleh pihak perusahaan, maka itu bukan diskriminasi gender.

PrinsipgenderdalamIslam Empat belas abad silam, Islam dibawa oleh Nabi Muhammad SAW untuk seluruh umat manusia di muka bumi ini. Salah satu peran Islam yang hingga kini masih berlangsung adalah menghapus diskriminasi terhadap perempuan yang dilakukan kalangan lelaki. Islam berhasil menunjukkan perbedaan dan persamaan antara laki-laki dan perempuan.

Pada prinsipnya, perbedaan kodrati antara laki-laki dan perempuan dapat dilihat secara biologis. Secara ilmiah, kaum perempuan bisa hamil (mengandung), melahirkan dan menyusui. Perbedaan kodrati perempuan ini tidak bisa digantikan oleh laki-laki. Inilah perbedaan asasi secara biologis. Begitu pula sebaliknya. Tanpa peran seorang laki-laki sebagai suaminya, seorang perempuan tidak akan bisa hamil. Dengan demikian, laki-laki dan perempuan merupakan makhluk Allah yang seharusnya hidup berdampingan. Antara keduanya tidak ada yang lebih sempurna, lebih unggul, atau lebih lengkap secara anatomi biologis. Allah memberikan organ tubuh kepada keduanya sesuai dengan fungsinya masing-masing. Itulah siklus kehidupan yang saling melengkapi. Identifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan semacam ini merupakan perspektif anatomi biologis.

Sementara itu, Islam telah menentukan beberapa prinsip tentang gender. Prinsip pertama, bahwa laki-laki dan perempuan sama di mata Allah kecuali ketakwaannya. Allah dengan tegas menyebutkan, bahwa perbedaan secara biologis atau jenis kelamin-laki-laki dan perempuan, tidak dapat menentukan dan menjadi ukuran untuk melihat derajat kemuliaan seseorang. Kemuliaan seseorang, baik laki-laki maupun perempuan, terletak pada kadar dan tingkat ketakwaannya kepada Allah. Artinya, kemuliaan seorang laki-laki dan perempuan bisa dilihat pada kualitas takwanya kepada Sang Pencipta, bukan ditentukan olehjeniskelaminnyadenganukuranbiologis.

Dalam Alquran, Allah berfirman, "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (QS Al-Hujuraat, 49: 13).

Prinsip kedua, bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama diperintahkan menyerukan dan mengajak kepada kebaikan, dan mencegah atau melarang kepada keburukan. Mereka sama-sama diperintahkan beramar makruf dan menanggung dosa yang diperbuatnnya. Laki-laki dan perempuan, misalnya, diwajibkan menjaga kemaluannya. Lihat firman Allah, ''Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya'. Katakalah kepada wanita yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pandangannnya, dan memelihara kemaluannya.'' (QS. Al-Nuur,24:30-31).

Prinsip ketiga, bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama, sesuai dengan apa yang diusahakannya. Allah berfirman, ''Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.''(QSAlNisaa,4:32).

Kesetaraan kerja Dalam masyarakat tradisional, pembagian kerja ditentukan oleh jenis kelaminnya: laki-laki dan perempuan. Kaum perempuan, misalnya, dituntut lebih banyak untuk mendidik anak-anak, memasak di dapur, membersihkan lingkungan rumah, dan menjaga keluarga di rumah. Sedangkan kaum lelaki harus bekerja di luar rumah, misalnya bertani, berladang, mengajar di sekolah, dan bekerja di kantor. Dulu, masyarakat kita di pedesaan tidak memperbolehkan anak-anak perempuan masuk sekolah. Sebab, kalau sekolah, mereka akan pandai menulis huruf Latin yang akan berakibat kurang baik di masa depan. Pandai menulis bisa mendorong anak-anak perempuan untuk saling kirim surat dengan laki-laki. Kalau tidak terkendali, hubungan mereka bisa menjurus kepada jurang maksiat. Cara pandang semacam ini membuat masyarakat kita berpikir, bahwa sebaiknya perempuan tidak usah masuk sekolah, karena bisa mendatangkan mudarat. Kini, cara pandang ini sudah diubah. Masyarakat kita sudah mulai sadar terhadap pentingnya pendidikan; dan bahwa, efek negatif pandai baca-tulis lebih keci dari manfaat yang jauh lebih banyak.

Pembagian kerja semacam di atas merupakan bagian dari diskriminasi gender. Padahal, laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki kemampuan untuk melakukan semua pekerjaan, baik di dalam maupun di luar rumah. Misalnya, seorang laki-laki bisa mengasuh anak-anaknya, bila diberi kesempatan untuk mengerjakannya. Termasuk juga dalam hal urusan masak-memasak. Selama ini, yang dianggap bisa memasak hanyalah perempuan, padahal nyatanya kini banyak juga koki lelaki yang pandai memasak, bahkan ia lebih pandai memasak ketimbang perempuan. Kalau selama ini yang dianggap bisa bekerja secara profesional hanyalah laki-laki, maka kini perempuan pun juga mampu bekerja secara profesional, asal ia diberi kesempatan. Jadi, laki-laki dan perempuan masing-masing dapat bekerja, baik di dalam maupun diluar rumah.

Selama ini ada kekhawatiran dalam masyarakat, bahwa bila seorang perempuan terjun ke dunia kerja dan sektor publik, maka anak-anak dan keluarganya akan terbengkalai. Kekhawatiran semacam ini seharusnya tidak perlu terjadi, dan dicarikan jalan keluarnya. Kini, banyak kaum Muslimah berkarier ria di kantor-kantor. Namun, mereka masih punya banyak kesempatan untuk mengurus keluarga, mendidik, dan membimbing anak-anaknya.

Hal ini karena antara suami dan istri punya kesepahaman dalam hal pembagian kerja. Antara keduanya memiliki komitmen dan konsep yang sama dalam mengurus anak-anak dan keluarganya. Laki-laki dan perempuan dalam keluarga sepatutnya mempunyai pemahaman dan pembagian kerja yang jelas, bila mereka ingin sama-sama bekerja di dalam maupun di luar rumah. Wallahu a'lam.