Senin, 22 Oktober 2007

METODOLOGI PENGAMBILAN KEPUTUSAN HUKUM ISLAM


II. Maqashid Syari'ah:
Mengetahui maqashid syari'ah merupakan satu hal yang sangat penting dalam memahami nash-nash dengan benar, juga untuk dapat mengistinbath hukum-hukum dari dalil-dalil dengan cara yang dapat diterima.
Seorang Mujtahid tidak cukup hanya mengetahui dalalah lafazh untuk satu makna saja, ia mesti mengetahui rahasia perundang-undangan dan tujuan umumnya sesuai dengan tujuan pembuat syara' dalam menetapkan hukum yang berbeda-beda.
Maqashid syari'ah bertujuan untuk kemashlahatan dan bukan untuk kemadlaratan. Kemashlahatan manusia dalam kehidupan ini terdiri dari al-Umuru ad-Dharuriyyah, al-Umuru al-Hajiyah, al-Umuru at-Tahsiniyyah. Apabila ketiga persoalan tersebut telah ditempuh maka terwujudlah hakikat kemashlahatan umat manusia.

(1) Al-Umuru adh-Dharuriyyah;
Yaitu hal-hal yang menjadi sendi eksistensi kehidupan manusia yang harus ada demi kemashlahatan mereka, dan apabila sendi-sendi itu tidak ada, maka kehidupan mereka itu akan jadi kacau, kemashlahatan tidak menjelma, dan akan tersiar di tengah-tengah mereka kehinaan dan kerusakan. Al-Umuru adh-Dharuriyyah bagi manusia dengan makna ini terdiri dari :
1. Urusan Agama,
2. Urusan Jiwa,
3. Urusan Akal,
4. Urusan Keturunan,
5. Urusan Harta.

Maka Islam menetapkan untuk setiap urusan dharuri yang lima ini, hukum-hukum yang menjamin eksistensinya dan pemeliharaannya, yang kemudian disebut Hukum Dharuri. Misalnya, diwajibkan beriman kepada Allah, diwajibkan shalat, shaum, zakat, dan kewajiban lainnya.
(2) Al-Umuru al-Hajiyyah;
Yaitu hal-hal yang sangat dibutuhkan oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan-kesulitan dan menolak halangan-halangan. Tidak terpenuhinya Al-Umuru al-Hajiyyah tidak akan menjadikan aturan hidup manusia berantakan atau kacau, melainkan hanya membawa kesulitan-kesulitan saja.
Pada prinsipnya, al-Umuru al-Hajiyyah ini untuk menghilangkan kesulitan-kesulitan manusia dalam menjalankan syari'at Islam. Sebagi misal; syari'at Rukhsah. Diperbolehkan berbuka shaum bagi yang sakit atau musafir. Bolehnya shalat sambil duduk bagi yang sakit, dan sebagainya. Berkenaan dengan itu Allah SWT. berfirman :
قَالَ اللهُ تَعَالَى:…يُرِيدُ اللهُ بِكُمْ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمْ الْعُسْرَ…( البقرة : 185 )

Artinya:"…Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu..." (Q.S. al Baqarah : 185)
(3) Al-Umuru at-Tahsiniyyah
Yaitu tindakan dan sifat yang harus dijauhi dan mesti dihayati dengan kepribadian yang kuat. Apabila hal-hal tersebut tidak dipenuhi, tidak akan mengakibatkan aturan manusia rusak dan tidak membawa kesulitan bagi manusia, hanya dianggap kurang harmonis oleh pertimbangan moral, akhlaq terpuji dan hati nurani.
Termasuk ke dalam masalah ini, syari'at ibadah-ibadah sunnat dalam shalat, shaum shadaqah atau makan dengan tangan kanan dan sebagainya.
Untuk mengetahui secara lebih jelas dan luas silakan baca kitab-kitab ushul.
2. IKHTILAF
2.1. Pengertian Ikhtilaf
Ikhtilaf artinya berbeda antara satu dengan lainnya, baik itu perbedaan dalam rupa warna, bahasa, pikiran, pendapat, atau yang lainnya. Terkadang juga diartikan berselisih. Contoh, firman Allah SWT:

قَالَ اللهُ تَعَالَى:…وَاخْتِلَافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ…(الروم: 22)

Artinya: “…dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu…” (Q.S. ar Rum : 22)

قَالَ اللهُ تَعَالَى:…وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ…(البقرة: 164)

Artinya: “…dan perbedaan malam dan siang…”. (Q.S. al-Baqarah : 164)

قَالَ اللهُ تَعَالَى: إِنَّكُمْ لَفِي قَوْلٍ مُخْتَلِفٍ. (الذاريات: 8)

Artinya: “Sesungguhnya kamu benar-benar dalam keadaan berbeda-beda pendapat”. (Q.S. ad-Dariyat : 8)

قَالَ اللهُ تَعَالَى:…فَهَدَى اللهُ الَّذِينَ آمَنُوا لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنْ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ…(البقرة: 213)

Artinya: “…Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya..”. (Q.S. al-Baqarah : 213)

Imam ar-Raghib mendefinisikan ikhtilaf, yaitu:

وَالإِخْتِلاَفُ: أَنْ يَأْخُذَ كُلُّ وَاحِدٍ طَرِيْقًا غَيْرَ طَرِيْقِ الأَخَرَ فِى حَالِهِ أَوْ قَوْلِهِ. –الراغب, ص: 157-

Artinya: “Ikhtilaf ialah seseorang mengambil jalan/cara berbeda dengan jalan yang lainnya baik dalam keadaannya atau perkataannya”. (ar-Raghib, hal : 157)

Ada juga yang mendefinisikan sebagai berikut:

اًلخِلاَفُ وَالإِخْتِلاَفُ يُرَادُ بِهِ مُطْلَقُ المُغَايَرَةِ فِي القَوْلِ أَوِ الرَّأْيِ أَوِ الحَالَةِ أَوِ الهَيْئَةِ أَوِ المَوْقِفِ.

Artinya: “Khilaf atau Ikhtilaf, dimaksudkan dengannya semata-mata perbedaan, baik dalam ucapan, pendapat, keadaan, cara, atau pendirian”.

Perbedaan akan meningkat menjadi pertentangan, ketika satu sama lain berusaha mempertahankan pendapatnya. Yang demikian disebut; Tanazu’, Munaza’ah, atau Mujadalah.

2.2. Pengertian Tafaruq

Tafaruq artinya; cerai-berai, silang selisih, bersimpang jalan sehingga membuat satu sama lain saling bermusuhan bahkan terkadang mengafirkan yang muslim. Masing-masing mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. Terkadang yang salah dipertahankan dengan berbagai dalih, atau yang hak ditolak karena tidak cocok dengan hawa nafsu dan keinginannya.

Dalam hal ini, Allah telah mengingatkan kita dengan firman-Nya:

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمْ الْبَيِّنَاتُ وَأُوْلَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ. (ال عمران: 105)

Artinya: “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat”. (Q.S. Ali Imran : 105)

2.3. Macam-macam Ikhtilaf

Sebagaimana kita maklumi, bahwa kandungan hukum al-Quran dan Sunnah tidak semuanya qath’i, tetapi banyak di antaranya yang zhanni sehingga menimbulkan penafsiran atau kesimpulan yang berbeda.

Hal ini memang wajar, tetapi tidak berarti semua hasil ijtihad itu benar dan dapat ditolelir. Terkadang ada hasil ijtihad yang menimbulkan kontroversi antara satu dengan lainnya. Seperti yang satu menetapkan halal, sementara yang lainnya menetapkan haram. Dalam hal ini ada dua kategori ikhtilaf:

a. Ikhtilaf Yang Maqbul

Ikhtilaf yang masih bisa diterima keberadaannya, seperti yang satu menetapkan wajib sementara yang lainnya menetapkan sunnat, tetapi pada dasarnya dua-duanya sama; harus diamalkan. Contoh:

1. Bismillah dalam wudhu. Menurut Hanabilah wajib, menurut yang lainnya sunnat.

2. Salam kedua di akhir shalat. Menurut Hanabilah wajib, dan menurut yang lainnya sunnat

3. Baca shalawat kepada Nabi pada tasyahud akhir. Menurut Syafi’iyyah wajib, dan menurut Malikiyyah sunnat

4. Mabit di Mina. Menurut Syafi’iyyah wajib, dan menurut Hanafiyyah sunnat

5. Mandi Jumat. Menurut sebagian wajib, menurut yang lainnya sunnat muakkad.

b. Iktilaf Yang Tidak Maqbul

Ikhtilaf yang sifatnya kontradiktif antara satu dengan lainnya. Seperti A mengatakan haram, sementara B menyatakan halal, atau yang satu menyatakan “sunnah” sementara yang lain menyatakan “bid’ah”.

Contoh:

1. Talaffuzh Biniyyat. Menurut Syafi’iyyah sunnat, sedang menurut yang lainnya bid’ah.

2. Menjaharkan Bismillah adalah masyru’ (disyari’atkan) menurut Syafi’iyyah, sementara menurut Abu Syaibah bid’ah.

3. Berdoa dalam tasyahud akhir dengan urusan-urusan dunia membatalkan shalat menurut Hanabilah, dan boleh menurut Malikiyyah.

4. Daging Katak menurut sebagian haram, sementara menurut yang lainnya halal.

5. Pelaksanaan shalat Jumat kurang dari 40 orang tidak sah menurut Syafi’iyyah, sedangkan menurut yang lainnya sah.

Ikhtilaf seperti ini tentu saja harus dicari penyelesaian akhir, karena tidak mungkin kedua-duanya diterima karena antara satu dan lainnya bertolak belakang.

Ikhtilaf di atas disebut Ikhtilaf Tadhadhin, yaitu iktilaf yang sifatnya berlawanan. Sementara ada juga yang disebut Ikhtilaf Tanawwu’, yaitu ikhtilaf yang sifatnya tidak berlawanan tetapi menunjukan ada beberapa macam, seperti;

1. Takbir Janazah; ada yang berpendapat empat kali takbir, ada juga yang berpendapat lima kali takbir. Hal ini mungkin diakibatkan karena ada beberapa contoh dari Nabi SAW.

2. Menggerak-gerakan telunjuk dalam tasyahud; ada hadits yang menyatakan menggerak-gerakan, sementara ada juga hadits yang menyatakan tidak menggerak-gerakan. Hal ini mungkin saja dua-duanya pernah dilakukan oleh Nabi SAW.

3. Doa Iftitah; ternyata ada beberapa macam doa iftitah yang diriwayatkan dari Nabi. Dalam hal ini jangan dianggap ikhtilaf, sampai harus dicari, mana yang lebih kuat.

4. Perbedaan penafsiran ayat al-Quran; sering juga dijumpai Ikhtilaf Tanawwu, seperti: tafsir ash-Shiratha al-Mustaqim. Ada yang menafsirkan dengan Kitabullah, Islam, Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah, dan ada juga yang mengartikan dengan Thariqu al-‘Ubudiyyah (jalan pengabdian kepada Allah)

Tafsir ini semuanya pada hakikatnya sama, hanya ungkapannya yang berbeda. (lihat Majmu’atu al-Fatawa, 13 : 205)

2.4. Sebab-sebab Timbulnya Perbedaan Pendapat;

Adalah satu kenyataan yang kita saksikan, bahwa ummat Islam tidak seragam dalam pelaksanaan Ibadahnya. Sebagai contoh, dalam shalat (saja) ada yang pakai Talafuzh Bi an-Niyyat, ada yang tidak, ada yang Qunut dalam shalat shubuh, juga ada yang tidak.

Hal ini perlu mendapat perhatian. Apakah semuanya benar sehingga umat bebas memilih pendapat yang mana saja? Atau contoh dari Nabi yang tidak sempurna sehingga perlu adanya penambahan atau pengurangan? Atau apakah semuanya berlandaskan dalil yang kuat sehingga tidak perlu diadakan kaji ulang lagi? Atau semua pendapat berhak ditolelir?

Dalam hal ini, perlu diketahui dulu sebab-sebab timbulnya perbedaan pendapat, khususnya dalam fiqih. Adapun sebeb-sebab timbulnya perbedaan pendapat, ialah:

a. Perbedaan data dan informasi yang diterima:

perbedaan data ini, mengingat fasilitisas dan koleksi hadits yang berbeda, serta literatur yang belum merata.

Contoh, perbedaan pendapat dalam hal menyimpan tangan di dada waktu shalat. Imam Hanafi berpendapat Irsal (lepas tangan) karena beliau tidak mendapatkan hadits yang mesti bersedekap, sementara yang lainnya bersedekap karena menerima haditsnya.

Andaikan Imam Hanafi menerima haditsnya, tentu tidak akan terjadi perbedaan pendapat. Ini adalah hal yang wajar karena di masa Imam Hanafi belum masa pembukuan hadits, di samping imam Hanafi kurang menjelajah kota-kota lain. Maka tentu saja masih banyak hadits-hadits Nabi yang belum sampai kepadanya, bahkan ada yang memperkirakan bahwa imam Hanafi hanya menguasai sekitar 300 hadits saja.

Di zaman shahabat Nabi, pernah ada seorang shahabat yang mau bertamu kepada Umar bin Khathab, kemudian ia membacakan salam sampai tiga kali setelah tiga kali membacakan salam Umar tidak juga keluar, kemudian ia pulang, lalu Umar keluar dan melihat dia pulang, lalu Umar memanggilnya seraya menegur dia, mengapa pulang, lalu shahabat itu menjawab: “Saya telah meminta izin untuk masuk rumah sebanyak tiga kali dan ternyata tidak ada jawaban, lalu saya pulang mengingat ada sabda Nabi SAW:

إِذَا اسْتَأْذَنَ أَحَدُكُمْ ثَلاَثًا فَلَمْ يُؤْذَنْ لَهُ فَلْيَرْجِعْ. -رواه مسلم-

Artinya: “Jika salah seorang di antaramu telah meminta izin (untuk masuk rumah) sebanyak tiga kali dan tidak juga dipersilahkan masuk, maka pulanglah”. (H.r. Muslim)

kemudian Umar minta untuk dibuktikan saksi bahwa Rasulullah SAW benar-benar telah mengatakan demikian, lalu didatangkanlah saksi dan Umar baru menerimanya.

Peristiwa di atas menunjukan bahwa di kalangan shahabat saja tidak sama mendapatkan informasi tentang hadits, ada sahabat yang banyak meriwayatkan hadits seperti Abu Hurairah, ada juga yang sedikit. Hal itu tergantung kedekatan seorang sahabat dengan Nabi.

b. Perbedaan data yang diterima tentang keshahihan atau kedha’ifan satu hadis

Yaitu mengingat literatur yang belum merata sehingga mungkin saja seseorang meyakini satu hadis itu shahih berdasarkan kitab yang ada padanya, sementara data tentang kedha’ifannya belum datang kepadanya karena terdapat dalam satu kitab yang lain.

Contoh, hadits-hadits tentang qunut subuh dengan do’a; Allahumma ihdini fi man hadaita…dst. Sepihak mendapatkan hadis tersebut dengan derajat yang sahih, sementara data kedha’ifannya belum didapatinya. Sedangkan pihak lain telah menemukan data yang akurat tentang kedhaifannya. Maka tentu saja akan timbul perbedaan pendapat karena tidak meratanya informasi yang diterima tentang kedudukan hadis tersebut, akibat referensi dan koleksi kitab-kitab hadits yang belum merata di kalngan ulama.

Contoh lain dalam kitab al-Muhadzdzab, 1: 26 dinyatakan:

وَلاَ يَجُوزُ لِلْمُتَيَمِّمِ أَنْ يُصَلِّيَ بِتَيَمُّمٍ وَاحِدٍ أَكْثَرَ مِنْ فَرِيْضَةٍ.

Artinya: “Tidak boleh bagi yang tayammum, shalat dengan satu kali tayammum untuk beberapa kali shalat fardhu”.

Hal ini didasarkan pada hadis di bawah ini:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ t قَالَ: مِنَ السُّنَّةِ أَنْ لاَ يُصَلِّيَ الرَّجُلُ بِالتَّيَمُّمِ إِلاَّ صَلاَةً وَاحِدَةً ثُمَّ يَتَيَمَّمُ لِلصَّلاَةِ الأُخْرَى. –رواه الدارقطني 1: 185-

Artinya: “Dari Ibnu Abbas r.a., ia berkata: adalah sunah Nabi, seseorang tidak melakukan shalat dengan satu kali tayammum kecuali untuk satu kali shalat (fardhu), kemudian hendaklah ia bertayammum lagi untuk shalat (fardhu) yang lainnya.” H.R. ad-Daraquthni

Orang yang berpegang dengan hadis tersebut, tentu saja akan berpendapat tidak boleh satu kali tayammum digunakan untuk beberapa kali salat fardhu, padahal hadis tersebut dhaif sekali.

Dalam kitab Bulugh al-Maram hal: 28, dinyatakan:

رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِي بِإِسْنَادٍ ضَعِيْفٍ جِدًّا.

Artinya: “Hadits tersebut diriwayatkan oleh ad-Daraquthni dengan sanad yang dhaif sekali”

c. Perbedaan titik tolak dalam mengambil satu kesimpulan:

maksudnya dalam masalah agama, hendakalah bertitik tolak dari nash, yaitu al-Quran dan hadits yang shahih, jangan bertitik tolak dari madzhab, tempat, organisasi, akal, perasaan atau tradisi. Perbedaan titik tolak dalam hal ini, tentu saja akan mengakibatkan perbedaan pendapat.

Contoh, tambahan sayyidina dalam bacaan shalawat dalam at-Tahiyyat. Sepihak berpemdapat bahwa lebih utama memakai sayyidina, karena kita mesti berlaku sopan kepada Nabi (bertitik tolak dari perasaan).

Sebagaimana dinyatakan dalam I’anatu ath-Thalibin, 1: 169;

الأَوْلَى ذِكْرُ السِّيَادَةِ لأَنَّ الأَفْضَلَ سُلُوكُ الأَدَبِ.

Aritnya: “Yang utama (dalam membaca shalawat) adalah dengan menyebut sayyidina, karena harus berlaku sopan (kepada Nabi).”

Sementara pihak lain berpendapat tidak boleh memakai tambahan sayyidina, karena sepanjang nash yang ada, tidak terdapat tambahan sayyidina (bertitik tolak dari dalil).

Demikian juga, jika sepihak bertitik tolak dari madzhab, akal, atau tradisi, sementara yang lainnya bertitik tolak dari dalil.

d. Perbedaan pemahaman atau persepsi dalam memahami nash yang telah disepakati kesahihannya;

Sebagaimana telah diketahui, bahwa tidak selamanya isi kandungan hadits itu Qhat’iyyu ad-Dilalah, tetapi banyak juga yang Zhanniyu ad-Dilalah. Maka dalam mengambil kesimpulan dari yang Zhanniyu ad-Dilalah sering terjadi perbedaan pendapat. Kadang sepihak berpegang kepada zhahir nashnya, sementara sepihak lainnya berpegang pada ‘illat-nya.

Contoh, masalah wanita haidh tinggal di mesjid. Ada yang berpendapat bahwa wanita haidh tidak boleh tinggal di mesjid, berpegang pada zhahir nashnya, ada juga yang berpendapat bahwa wanita haidh dilarang tinggal di mesjid jika sekiranya mengotori mesjid. Adapun jika mampu menjaganya dan tidak akan mengotori mesjid, maka boleh saja ia tinggal di mesjid.

Contoh lain, seperti hadis di bawah ini;

إِذَا نَهَضَ فِى الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ اسْتَفْتَحَ الْقِرَاءَةَ بِ ( الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ) وَلَمْ يَسْكُتْ. -رواه مسلم-

Artinya: “Jika Nabi bangkit pada raka’at kedua, Nabi memulai bacaannya dengan; Alhamdu Lillahi Rabbil ‘Alamin, dan tidak diam dulu.” H.R. Muslim

Dari hadis ini, ada yang berkesimpulan bahwa membaca al-Fatihah pada raka’at kedua tidak mesti membaca Bismillah, berdasar zhahirnya hadis tersebut. (Mengartikan Alhamdu Lillahi Rabbil ‘Alamin, dengan arti lafazh; Alhamdu Lillahi Rabbil ‘Alamin, itu sendiri. Sementara pihak lain berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Alhamdu Lillahi Rabbil ‘Alamin di sini adalah surat al-Fatihah termasuk bismillah di dalamnya.

Menanggapi perbedaan pendapat dalam masalah ini, tentu saja tidak berarti bebas memilih pendapat yang mana saja, tetapi h arus mencari mana yang arjah (lebih kuat) dari keduanya dengan memperhatikan alasan-alasan lain yang menguatkan salah satunya.

e. Perbedaan Rumusan

Apakah itu rumusan Mushthalah hadis, Ushul Fiqh atau rumusan lainnya, misalnya:

Tentang al-Quran

a. Jika terjadi pertentangan antara al-Quran dan Hadits, mana yang mesti didahulukan, apakah al-Quran atau Hadits? Dalam hal ini ada yang berpendapat bahwa hadis harus didahulukan, karena tidak ada yang lebih tahu akan isi kandungan al-Quran kecuali Nabi. Sedangkan pihak lain berpendapat bahwa al-Quran harus didahulukan karena al-Quran lebih kuat dari hadits.

b. Masalah Nasikh Mansukh, belum ada kesepakatan di kalangan ulama.

c. Dalam memahami ayat-ayat Mutasyabihat, ada yang menggunakan ta’wil, ada yang menggunakan tafwid. Ada yang mengartikan “Yadun” dengan arti kekuasaan, ada yang mengartikan “Yadun” dengan arti tangan, tetapi Laisa Kamitslihi Syaiun.

d. Kedudukan sunnah dalam tasyri’ Islami, apakah berfungsi untuk menetapkan hukum atau hanya sebagai bayan saja terhadap al-Quran. Oleh karenanya, ada yang berpendapat bahwa ‘aqiqah itu tidak disyariatkan karena tidak terdapat dalam al-Quran, ayat yang menyinggung urusan aqiqah. Sementara yang lainnya berpendapat bahwa ‘aqiqah itu disyariatkan berdasarkan hadits yang shahih tentang ‘aqiqah.

e. Adanya tafsir bi al-Ma’tsur dan tafsir bi ar-Ra’yi

f. Beraneka ragamnya tafsir dari sahabat.

Tentang Hadits

a. Mengenai qaidah :

اَلأَحَادِيْثُ الضَّعِيْفَةُ يُقَوِّى بَعْضُهَا بَعْضًا

Artinya; “Hadits-hadits dhaif itu satu sama lain adalah saling menguatkan.”

Dalam hal ini, ada pihak yang menerima rumusan tersebut, ada juga yang menolaknya.

b. Mengenai qaidah :

اَلْحَدِيْثُ الضَّعِيْفُ يُعْمَلُ فِى فَضَائِلِ اْلأَعْمَالِ

Artinya; “Hadits dhaif dapat diamalkan dalam hal keutamaan amal.”

c. Mengenai berhujah dengan hadis hasan

d. Mengenai fungsi sunnah

e. Mengenai mursal shahabi dan hadis mauquf

f. Mengenai kedudukan mursal tabii’

g. Mengenai kaidah :

اَلْجَرْحُ مُقَدَّمٌ عَلَى التَّعْدِيْلِ

Artinya: “Anggapan jarah (cacat terhadap seorang perawi) harus didahulukan dari pada anggapan adil/tsiqat.”

h. Mengenai qaidah :

اَلصَّحَابَةُ كُلُّهُمْ عُدُوْلٌ

Artinya: “Shahabat-shahabat Nabi itu semuanya dinilai adil (periwayatannya).

Dalam hal ini, khususnya syi’ah menolak rumusan ini.

i. Mengenai riwayat orang yang tadlis.

Rumusan-rumusan tersebut di atas belum disepakati bersama. Ada pihak yang menerimanya, ada juga pihak yang menolaknya. Dalam hal ini, masih perlu diadakan kaji ulang oleh pada ahli dengan memperhatikann alasan-alasan, mengapa menolak dan mengapa menerimanya.

Dalam Berijtihad

a. Tentang kedudukan ijma’, ijma’ yang mana yang bisa dijadikan hujah.

b. Tentang Qiyas, bisakah diterima Qiyas dalam masalah ibadah mahdlah ?

c. Apabila terjadi musbit (dalil yang menetapkan ada) dan nafi (dalil yang menetapkan tidak ada). Mana yang didahulukan, Mutsbit atau Nafi?

d. Tentang kedudukan istihsan, maslahat mursalah dan masalah-masalah lainnya yang masih jadi perbincangan di kalangan ulama.

Dalam rumusan-rumusan yang tersebut tadi belum ada kesepakatan di kalangan para ulama. Untuk itu diperlukan penelitian yang lebih mendalam lagi, kajian yang lebih akurat dan meyakinkan disertai keikhlasan dan keterbukaan.

2.5. Mensikapi perbedaan pendapat

Timbulnya perbedaan pendapat, khususnya dalam masalah fiqh dan pengamalan ibadah mahdhah, membuat pelaksanaan ibadah umat menjadi beraneka ragam.

Bahkan tidak jarang perbedaan pendapat disikapi dengan cara negatip sehingga tibul perpecahan dalam tubuh ummat sendiri, dan melupakan pokok permasalahan untuk dikaji dan diselesaikan.

Dalam hal ini ada tiga kelompok, yaitu:

a. Kelompok yang menutup diri; tidak mau memperhatikan masukan-masukan dari yang lain;

Mereka menyakini, apa yang telah menjadi tradisi di kalangan mereka sudah pasti benar, karena telah berjalan sekian lama dan tentunya telah melewati kajian-kajian di kalangan leluhur mereka dan tokoh-tokoh yang dapat diandalkan keilmuannya.

Munculnya pendapat-pendapat baru tidak membuat mereka penasaran dan mengadakan kaji ulang, apalagi untuk mengundang orang-orang yang berbeda pendapat dengan mereka untuk mengaadakan dialog dan muthala’ah bersama. Mereka lebih memilih bersikap apriori terlebih dahulu.

Sikap seperti ini tentu saja tidak akan membuka wawasan baru, merangsang berpikir dan menumbuhkan ruh ijtihad.

b. Kelompok yang bersikap apatis (acuh tak acuh); tidak mau mencari solusi atau penyelesaian:

Mereka menyakini dua-duanya benar, masing-masing mempunyai alasan yang kuat. Ummat diperselisihkan mengamalkan mana saja yang ia kehendaki. Hendak melaksanakan qunut silahkan, tidak qunut juga tidak apa-apa, yang penting menjaga kesatuan dan persatuan serta ukhuwah Islamiyyah.

Sebab dengan membuka masalah-masalah khilafiyyah dan soal-soal furu’, akan membuat ummat resah dan akan mengancam kesatuan dan persatuan serta stabilitas di kalangan ummat Islam itu sendiri.

Ada sebuah kisah nyata, ketika sekelompok orang bermaksud melaksanakan shalat tarawih 11 raka’at dan kelompok lain melaksanakan 23 raka’at.

Tibul pertentangan di antara mereka dan masing-masing bersikeras dengan pendapatnya sendiri. Sampai datang seorang kiyai untuk menyelesaikan pertentangan di antara mereka dengan mengatakan: “Sudahlah, shalat Tarawih itu sunnat, sementara bertengkar itu haram. Silahkan kalian pulang ke rumah masing-masing”.

Pada akhirnya, mereka kembali ke rumah masing-masing dan tidak jadi melaksanakan shalat tarawih.

Sikap tersebut, jelas tidak akan menyelesaikan masalah dan membuat seseorang yakin ketika melaksanakan ibadahnya. Ummat selalu dihantui keraguan dan kebingungan, dan tidak dididik untuk kritis dalam menanggapi dan menghadapi dalam masalah-masalah yang muncul di antara mereka.

c. kelompok yang berusaha untuk mencari penyelesaian; mana yang arjah (paling kuat).

Karena tidak mungkin dua hal yang bertentangan kedua-duanya benar, dan tidak mungkin dalam satu masalah terdapat dua hukum yang berbeda; ya halal ya haram, ya sunnah ya bid’ah.

Setidaknya rumusan-rumusan dan cara menyelesaikannya sudah ada. Baik dengan memekai Thariqathu al-Jami’ , Thariqathu at-Tarjih, dan Thariqathu an-Naskhi.

Tinggal ada usaha dan keinginan, serta modal keilmuan dan keikhlasan untuk mengkaji kembali masalah-masalah yang muncul di kalangan ummat. Tentu saja ini adalah tugas para ulama dan para puqaha.

Para ulama dituntut untuk mengkaji dan mengkaji lagi serta menambah wawasan keilmuan dan menambah literatur bacaan. Dengan demikian agama akan tetap terpelihara kemurniannya.

Sikap seperti ini adalah sikap yang diperintahkan al-Quran, hadis Nabi, dan juga yang diamalkan oleh para sahabat Nabi SAW.

2.6. Keharusan yang menyelesaikan maslah-masalah ikhtilaf;

Munculnya perbedaan pendapat adalah hal yang wajar, tetapi tidak mesti semuanya ditolelir, dan tidak harus mengakibatkan perpecahan di kalangan ummat.

Allah SWT berfirman:

قَالَ اللهُ تَعَالَى:…فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً. (النساء: 59)

Artinya: “…kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (Q.S. an-Nisa : 59)

Ayat tersebut mengandung beberapa pesan, di antaranya:

1. Adalah hal yang wajar timbulnya perbedaan pendapat di kalangan ummat.

2. Upayakan mencari penyelesaian dengan mengembalikan persoalan itu kepada Allah dan Rasul-Nya (al-Quran dan Sunnahnya)

3. Jiwai usaha tersebut dengan iman yang benar-benar kepada Allah dan hari akhir.

4. Upaya tersebut adalah cara yang paling utama dan lebih baik akibatnya.

Demikian petunjuk al-Quran dalam mensikapi perbedaan pendapat. Dalam ayat lain, Allah SWT. berfirman:

قَالَ اللهُ تَعَالَى: وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلاَ يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ. إِلاَّ مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ…(هود: 118-119)

Artinya: “Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia ummat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu…”. (Q,S. Hud : 118-119).

Ayat tersebut mengandung beberapa pesan, di antaranya:

1. Allah tidak menjadikan manusia ini satu ummat dan tentu di dalamnya terkandung hikmah Ilahiyyah.

2. Manusia di manapun dan kapanpun senantiasa berselisih pendapat.

3. Orang yang mendapatkan rahmat dari Allah tentu akan berusaha untuk menghindari perselisihan dan mencari jalan penyelesaian.

Allah SWT. berfirman:

قَالَ اللهُ تَعَالَى: إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ. (الحجرات: 10)

Artinya: “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat”. (Q.S. al-Hujurat : 10)

Ayat ini juga memberikan pesan-pesan, yaitu;

1. Orang-orang mukmin satu sama lain adalah saudara, mereka telah berada dalam bingkai aqidah yang kuat.

2. Jika terjadi perselisihan atau silang pendapat, bereskanlah di antara mereka dan jangan dibiarkan berlarut-larut.

3. Bertaqwa kepada Allah adalah satu-satunya usahan untuk mendapatkan rahmat-Nya.

Nabi SAW. bersabda:

كَانَ رَسُولُ اللهِ r يَمْسَحُ مَنَاكِبَنَا فِي الصَّلاَةِ وَيَقُولُ اسْتَوُوا وَلاَ تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ. –رواه مسلم-

Artinya: “Adalah Rasulullah SAW. suka mengusap pundak kami di waktu (hendak) shalat, seraya mengatakan: Luruskanlah (shafnya) dan jangan berselisih (renjul), akibatnya akan berselisih juga hati kamu”. H.r. Muslim.

Hadits ini juga menunjukkan, betapa kuatnya perhatian Nabi agar shalat itu seragam, lurus shafnya, rapat barisannya dan seragam pelaksanaannya. Hal itu sebagai gambaran dari kesatuan dan kesamaan hati. Sebaliknya praktek shalat yang renjul, shaf yang tidak lurus, itu pertanda bahwa hatinya belum seragam.

Pendapat Imam Malik

وَقاَلَ أَشْهَبُ: سُئِلَ مَالِكٌ عَمَنْ أَخَذَ بِحَدِيْثٍ حَدَّثَهُ ثِقَةٌ عَنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ r أَتَرَاهُ مِنْ ذلِكَ فِي سَعَةٍ؟ وَقَالَ: لاَ، وَاللهِ حَتَّى يُصِيْبَ الْحَقُّ مَا الْحَقُّ اِلاَّ وَاحِدٌ، قَوْلاَنِ مُخْتَلِفَانِ يَكُوْنَانِ صَوَابًا جَمِيْعًا؟ مَا الْحَقُّ وَالصَّوَابُ اِلاَّ وَاحِدٌ. صفة الصلاة النبي : 40.

Artinya: “Ashab berkata: Imam Malik pernah ditanya tentang seseorang yang mengambil hadits dari Nabi yang tsiqat (dapat dipercaya), apakah menurut pendapatmu bebas memilih yang mana saja (jika terjadi berbeda pendapat). Beliau menjawab: Tidak! Sehingga ia mendapatkan yang hak, tidaklah hak (kebenaran) itu kecuali satu, apakah mungkin dua pendapat yang berbeda dua-duanya benar? Tidaklah hak dan kebenaran itu kecuali satu”. (Shifatu as-Shalati an-Nabi, hal : 40)

Keterangan tersebut menunjukkan prinsip imam Malik bahwa hak dan kebenaran itu cuma satu, tidak mungkin dua pendapat yang berbeda dua-duanya benar, tetapi mesti dicari mana yang paling kuat sekalipun itu datang dari shahabat-shahabat Nabi.

Pendapat Muhamad Abduh

قَالَ الشَّيْخُ مُحَمَّدُ عَبْدُهُ: وَذلِكَ لأَنَّ الْحَقَّ وَاحِدٌ لاَ يَتَعَدَّدُ فَيَجِيْبُ الْبَحْثُ عَنْهُ بِإِخْلاَصٍ وَعَدَمِ تَحَيُّزٍ وَلاَجِدَالٍ حَتَّى إِذَا مَا ظَهَرَ الْحَقُّ إِتَّفَقُوا عَلَيْهِ وَأَغْلَقُوا بَابَ الشَّيْطَانِ. مالا يجوز فيه الخلاف : 106.

Artinya: “Yang demikian itu karena hak itu (kebenaran) hanya satu, tidak banyak jumlahnya. Oleh karenanya wajib mencari hak itu dengan ikhlas, tidak fanatik, dan tidak berdebat kusir, dan jika telah jelas mana yang hak itu, hendaklah semuanya sepakat mengambil yang hak dan menutup pintu syetan”. (Ma la Yajuzu Fihi al-Khilaf, hal : 106)

Muhamad Abduh menyatakan dengan tegas, bahwa hak itu hanya satu tidak banyak, dan kita mesti berupaya mencari hak dengan hati yang ikhlas, pikiran yang jernih, tidak berusaha menentang pendapat yang lain atau mempertahankan pendapat sendiri.

Pendapat Para Ahli Mantiq

Para ahli Mantiq dalam menjelaskan tanaqudh menyatakan:

تَنَاقُضُ خُلْفُ القَضِيَّتَيْنِ فِي كَيْفٍ وَصِدْقُ وَاحِدٍ أَمْرٌ قُفِي

Artinya: “Tanaqudh itu adalah pertentangan dua qadhiyyah (masalah) dalam ijab dan salab (positif & negatif) dan yang benar itu pasti satu”.

Tanaqudh, artinya pertentangan antara dua qadhiyyah, dimana yang satu menyatakan (A) umpamanya, sedang yang lainnya menolaknya atau menyangkalnya, contoh:

Ali itu sakit-Ali itu tidak sakit

Ahmad itu muslim-Ahmad itu bukan muslim

Dua qadhiyyah seperti tersebut di atas, saling berlawanan, yang satu menyatakan sakit sementara lainnya menyatakan tidak sakit. Yang demikian disebut tanaqudh dalam ilmu Mantiq atau Ta’arudh dalam Usul Fiqih atau kadang juga disebut Ikhtilaf.

Ketika terjadi tanaqudh, tidak mungkin pernyataan yang saling berlawanan itu dua-duanya benar, yang benar pasti satu, apakah pernyataan; “Ali itu sakit”, atau pernyataan bahwa “Ali itu tidak sakit”.

Begitu pula jika terjadi pertentangan dalam masalah fiqih. Yang satu menyatakan halal sementara lainnya menyatakan haram. Tidak mungkin kedua-duanya benar; ya halal ya haram. Pasti salah satunya yang benar, dan kita berkewajiban untuk mencari mana yang benar.

2.7. Adab dalam Mensikapi Ikhtilaf;

Kita dituntut untuk mencari kebenaran di manapun dan dari siapapun. Sebagai pencari hak dan kebenaran, tentu saja harus memiliki jiawa terbuka dan lapang dada untuk menerima kebanaran dari siapa saja datangnya, sekaligus memiliki keberanian untuk menyampaikannya kepada siapa saja dan di mana saja. Imam Ghazali memberikan petuah dalam masalah ini:

قَالَ الْغَزَالِيُ: أَنْ يَكُونَ كُلُّ طَرَفٍ مِنْ طَرَفَيْ الْمُنَاظَرَةِ فِي طَلَبِ الْحَقِّ كَنَاشِدِ ضَآلَةٍ لاَيُفَرِّقُ بَيْنَ أَنْ تَظْهَرَ الضَّآلَةُ عَلَى يَدِهِ أَوْ عَلَى يَدِ مَنْ يُعَاوِنُهُ فَهُوَ يَرَى فِي رَفِيْقِهِ مُعِيْنًا وَمُسَاعِدًا فِي الْوُصُولِ لِلْحَقِّ لاَ خَصْمًا وَلِذلِكَ يَشْكُرُهُ إِذَا نَبَّهَهُ لِمَوْضِعِ الْخَطَأِ وَأَظْهَرَ لَهُ الْحَقَّ.

Artinya: “Hendaklah masing-masing pihak dari kedua pihak yang bermunazharah (berdiskusi) dalam upaya mencari kebanaran, seperti halnya orang yang mencari barang yang hilang (kepunyaannya), ia tidak akan membeda-bedakan oleh siapa barang yang hilang itu ditemukan, apakah oleh tangannya sendiri atau oleh tangan orang yang membantu mencarikannya. Dia akan menganggap temannya itu sebagai pembantu dan penolong dalam mencari kebenaran dan tidak menganggapnya sebagai lawan atau musuh. Oleh karenanya, ia akan bersyukur kepada temannya jika temannya itu mengingatkan kesalahan dan menunjukkan kebanaran kepadanya”.

كَمَا لَوْ سَلَكَ طَرِيْقًا خَطَأً فِي طَلَبِ ضَآلَتِهِ فَنَبَّهَهُ صَاحِبُهُ إِلَى أَنَّ ضَآلَتَهُ سَلَكَتْ الطَّرِيْقَ الآخَرَ فَإِنَّهُ يَسُرُّ بِهِ وَيَشْكُرُهُ. مالا يجوز به الخلاف : 109.

Artinya: “Sebagaimana jika seseorang menempuh jalan yang salah dalam mencarikan barangnya yang hilang, kemudian temannya mengingatkan dia, bahwa barang yang hilang itu menempuh jalan yang lain, tentu saja ia akan bergembira (menerima sarannya) dan bersyukur kepadanya”.

Demikianlah fatwa imam Ghazali yang begitu menarik dan indah untuk dijadikan bekal oleh setiap orang yang mencari serta merindukan kebenaran.

Tidak ada komentar: